Kebudayaan di Sulawesi Utara
Kebudayaan di Sulawesi Utara. Selain kaya akan sumber daya alam
sulawesi utara juga kaya akan seni dan budaya yang diwariskan oleh nenek
moyang. Berbagai seni dan budaya dari berbagai suku yang ada di
provinsi sulawesi utara justru menjadikan daerah nyiur melambai semakin
indah dan mempesona. Berbagai pentas seni dan budaya maupun tradisi dari
nenek moyang memberikan warna tersendiri bagi provinsi yang terkenal
akan kecantikan dan ketampanan nyong dan nona Manado.
Secara garis besar penduduk di Sulawesi Utara terdiri atas 3 suku besar yakni suku minahasa, suku sangihe dan talaud dan suku bolaang mongondow. Ketiga suku/etnis besar tersebut memiliki sub etnis yang memiliki bahasa dan tradisi yang berbeda-beda. Tak heran Provinsi Sulawesi Utara terdapat beberapa bahasa daerah seperti Toulour, Tombulu, Tonsea, Tontemboan, Tonsawang, Ponosakan dan Bantik (dari Suku Minahasa), Sangie Besar, Siau, Talaud (dari Sangihe dan Talaud) dan Mongondow, Bolaang, Bintauna, Kaidipang (dari Bolaang Mongondow)
Propinsi yang terkenal akan semboyan torang samua basudara (kita semua bersaudara) hidup secara rukun dan berdampingan beberapa golongan agama seperti Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Budha dan Kong Hu Chu. Namun dari keaneka ragaman tersebut bahasa Indonesia masih menjadi bahasa pemersatu dari berbagai suku dan golongan.
Secara garis besar penduduk di Sulawesi Utara terdiri atas 3 suku besar yakni suku minahasa, suku sangihe dan talaud dan suku bolaang mongondow. Ketiga suku/etnis besar tersebut memiliki sub etnis yang memiliki bahasa dan tradisi yang berbeda-beda. Tak heran Provinsi Sulawesi Utara terdapat beberapa bahasa daerah seperti Toulour, Tombulu, Tonsea, Tontemboan, Tonsawang, Ponosakan dan Bantik (dari Suku Minahasa), Sangie Besar, Siau, Talaud (dari Sangihe dan Talaud) dan Mongondow, Bolaang, Bintauna, Kaidipang (dari Bolaang Mongondow)
Propinsi yang terkenal akan semboyan torang samua basudara (kita semua bersaudara) hidup secara rukun dan berdampingan beberapa golongan agama seperti Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Budha dan Kong Hu Chu. Namun dari keaneka ragaman tersebut bahasa Indonesia masih menjadi bahasa pemersatu dari berbagai suku dan golongan.
Berikut ini beberapa Kebudayaan di Sulawesi Utara
- Budaya mapalus. Mapalus merupakan sebuah tradisi budaya suku Minahasa dimana dalam mengerjakan segala sesuatu dilakukan secara bersama-sama atau gotong royong. Budaya mapalus mengandung arti yang sangat mendasar. Mapalus juga dikenal sebagai local Spirit and local wisdom masyarakat di Minahasa
- Perayaan tulude. Perayaan tulude atau kunci taong (kunci tahun) dilaksanakan pada setiap akhir bulan januari dan diisi dengan upacara adat yang bersifat keagamaan dimana ungkapan puji dan syukur terhadap sang pencipta oleh karena berkat dan rahmat yang telah diterima pada tahun yang telah berlalu sambil memohon berkat serta pengampunan dosa sebagai bekal hidup pada tahun yang baru
- Festival figura. Figura merupakan seni dan budaya yang diadopsi dari kesenian yunani klasik. Seni ini lebih dekat dengan seni pantomim atau seni menirukan laku atau watak dari seseorang tokoh yang dikenal atau diciptakan. Figura merupakan kesenian yang dapat menghadirkan dramaturgi pendek terhadap sosok atau perilaku tokoh-tokoh yang dianggap berperan dalam mengisi tradisi baik buruknya sosok dan watak seorang manusia. Oleh pemerintah kota Manado festival figura diselenggarakan dalam rangka pesta kunci taong layaknya perayaan tulude yang dilaksanakan oleh masyarakat sangihe
- Toa Pe Kong atau Cap go meh. Seperti didaerah lainnya, perayaan/upacara ini juga rutin dilaksanakan di Sulawesi Utara apa terlebih di Kota Manado. Upacara ini dimeriahkan dengan atraksi dari Ince Pia yakni seorang yang memotong-motong badan dan mengiris lidah dengan pedang yang tajam serta menusuk pipi dengan jarum besar yang tajam akan tetapi si Ince Pia tidak terluka ketika
- Pengucapan syukur. Pengucapan syukur merupakan tradisi masyarakat Minahasa yang mengucap syukur atas segala berkat yang telah Tuhan berikan. Biasanya pengucapan syukur dilaksanakan setelah panen dan dikaitkan dengan acara keagamaan untuk mensyukuri berkat Tuhan yang dirasakan terlebih panen yang dinikmati. Acara pengucapan syukur ini dilaksanakan setiap tahun oleh masyarakat suku Minahasa pada hari Minggu umumnya antara bulan Juni hingga Agustus. Saat pengucapan syukur hampir setiap keluarga menyediakan makanan untuk para tamu yang akan datang berkunjung apa terlebih makanan khas seperti nasi jaha dan dodol.
Sejarah Sulawesi Utara
Provinsi Sulawesi Utara memiliki sejarah historis yang cukup panjang serta turut juga melahirkan tokoh yang bisa ambil bagian dalam pembentukan negara kesatuan Republik Indonesia yakni Dr Sam Ratulangi. Pria yang dikenal dengan semboyan Si Tou Timou Tumoutou atau manusia hidup untuk memanusiakan manusia yang lain bisa turut serta dalam membangun pondasi bangsa Indonesia yang berlandaskan kepada pancasila. Dan sebagai generasi penerus atau Sam Ratulangi di masa kini, selayaknya kita juga mengetahui sejarah provinsi Sulawesi Utara.
image source: rafans.blogdetik.com
Berikut sejarah provinsi Sulawesi Utara yang kami ambil dari situs resmi pemerintah provinsi Sulawesi Utara yang beralamat di www.sulut.go.id/new/Provinsi Sulawesi Utara mempunyai latar belakang sejarah yang cukup panjang sebelum daerah yang berada dipaling ujung utara Nusantara ini menjadi Provinsi Daerah Tingkat Satu. Sejarah Pemerintahan Daerah Sulawesi Utara, tak berbeda jauh dengan sejarah provinsi lainnya yang teletak di Pulau Sulawesi yang telah beberapa kali mengalami perubahan administrasi pemerintahan.Seiring berjalannya waktu, tentu provinsi Sulawesi Utara masih akan menorehkan berbagai macam catatan yang nantinya akan sama-sama kita tulis dalam buku sejarah. Baik buruknya nanti catatan tersebut, tergantung dari pribadi kita masing-masing apakah kita akan menorehkan catatan emas dalam buku sejarah Sulawesi Utara yang telah tersusun dengan baik, ataukah generasi kita akan mencatatkan sejarah kelam mengenai provinsi Sulawesi Utara. Mari bersama mengukir sejarah sulawesi utara yang gemilang agar anak cucu kita nanti bisa membaca lembaran demi lembaran yang menarik untuk dibaca
Sejarah Pemerintahan Sulawesi Utara
Pada permulaan kemerdekaan Republik Indonesia, daerah ini berstatus Keresidenan yang merupakan bagian dari Provinsi Sulawesi. Seiring dengan perkembangan pemerintahan, maka berdasarkan Peraturan Pemerintah no. 5 tahun 1960 Provinsi Sulawesi dibagi menjadi dua bagian yaitu Provinsi Sulawesi Selatan-Tenggara dan Provinsi Sulawesi Utara-Tengah. Untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Sulawesi Utara-Tengah, maka berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 122/m tahun 1960 tanggal 23 Maret 1960 ditunjuklah Mr. A.A. Baramuli sebagai Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah.
Sembilan bulan kemudian Provinsi Sulawesi Utara-Tengah dan Provinsi Sulawesi Selatan-Tenggara ditata kembali statusnya menjadi Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah dan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan-Tenggara melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 47 /Prp/Tahun 1960. Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Sulutteng meliputi : Kotapraja Manado, Kotapraja Gorontalo, dan delapan Daerah Tingkat II masing-masing : Sangihe Talaud, Bolaang Mongondow, Minahasa, Gorontalo, Buol Toli-Toli, Donggala, Poso, dan Luwuk/Banggai. Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 47 Prp Tahun 1960 ini, maka dimulailah penyelenggaraan pemerintahan daerah-daerah otonomi Tingkat I Sulawesi, dimana Wilayah Sulawesi Utara merupakan bagian dari Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah.
Sejarah Pemilihan Gubernur Sulawesi Utara
Otonomisasi Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah ini secara de facto baru dimulai sejak terbentuknya DPRD Provinsi Sulawesi Utara-Tengah pada tanggal 26 Desember 1961. Penyelenggaraan mekanisme pemerintahan di daerah pada waktu itu dilaksanakan berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 yang kemudian diikuti pula dengan terbitnya Penpres Nomor 5 Tahun 1960. Kedua Penetapan Presiden itu pada hakikatnya adalah upaya untuk menertibkan penyelenggaraan pemerintahan di daerah berdasarkan stelsel “demokrasi terpimpin” sekaligus merupakan penyempurnaan (retooling) aparatur pemerintah daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957.
Sementara itu Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960 mengubah Susunan Keanggotaan DPRD yang semula terdiri dari Wakil-Wakil Parpol sesuai hasil Pemilu, menjadi Dewan yang terdiri atas Wakil Parpol dan Golongan Fungsional dengan menetapkan Kepala Daerah sebagai ketua DPRD yang bukan anggota. Itulah sebabnya dalam Periode Kepemimpinan Mr. A.A. Baramuli sejak tanggal 23 Maret 1960 s.d. 15 Juli 1962 disamping menjadi Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Utara – Tengah, dia juga berkedudukan sebagai Ketua DPRD.
Selama menjalankan roda pemerintahan di Daerah Tingkat I Sulawesi Utara–Tengah, Gubernur Mr. A.A. Baramuli dengan dibantu oleh Wakil Gubernur Letkol F.J. Tumbelaka dan Sekretaris Daerah Residen Datu Mangku Nan Kuning, yang kemudian diganti oleh Residen Hein Lalamentik, telah menempuh langkah-langkah untuk mengonsolidasikan dan menata semua Aparatur Pemerintahan yang ada, sekaligus secara bertahap melalui kerjasama dengan seluruh unsur dan aparat keamanan di daerah telah berupaya memulihkan keamanan dan ketertiban disemua tingkatan kehidupan masyarakat sampai akhir masa jabatan tanggal 15 Juni 1962. Sebagai gantinya, tanggal 15 Juni 1962 Presiden menunjuk Letkol F.J. Tumbelaka sebagai Pejabat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah, yang kemudian dikukuhkan sebagai Gubernur Definitif berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 83 tertanggal 27 Juli 1963.
Di sela-sela berbagai tantangan dan rintangan yang menghadang Pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah pada waktu itu, tercatat suatu peristiwa besar yang tertulis dengan tinta emas dan tidak akan terlupakan dalam perjalanan sejarah Daerah Tingkat I Sulawesi Utara sebagai salah satu Daerah Otonom.
Peristiwa itu terjadi pada tanggal 23 September 1964, disaat mana Pemerintah Republik Indonesia memberlakukan Undang-Undang nomor 13 Tahun 1964 yang menetapkan perubahan status Daerah Tingkat I Sulawesi Utara-Tengah. Undang-undang tersebut menjadikan Sulawesi Utara sebagai Daerah Otonom Tingkat I, dengan Manado sebagai Ibukotanya. Momentum diundangkannya undang-undang nomor 13 tahun 1964, kemudian dipatri sebagai hari lahirnya Daerah Tingkat I Sulawesi Utara. Sejak saat itu, secara de facto daerah tingkat I Sulawesi Utara membentang dari utara ke selatan barat daya, dari Pulau Miangas ujung utara di Kabupaten Sangihe Talaud sampai ke Molosipat di bagian barat Kabupaten Gorontalo.
Sementara itu Letkol F.J. Tumbelaka masih tetap dipercayakan oleh pemerintah pusat untuk terus memimpin Daerah Tingkat I Sulawesi Utara, baik dalam kedudukannya sebagai Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Utara maupun sebagai ketua DPRD Tingkat I Sulawesi Utara, didampingi oleh wakil-wakil ketua M. Ma’ruf dan M.D. Kartawinata. Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Gubernur Letkol F.J. Tumbelaka dibantu pula oleh suatu Lembaga yang disebut Badan Pemerintahan Harian (BPH) dengan para anggota Letkol Rumpokowiryo, Drs. Simanjuntak, Drs. Laute, Hasan Usman dan Pelima, Sekretaris Daerah Abdullah Amu. Upaya-upaya yang telah di rintis oleh Gubernur sebelumnya terus dilanjutkan sampai mengakhiri masa jabatannya pada tanggal 19 Maret 1965.
Memasuki permulaan tahun 1965, semakin terasa ofensif PKI terhadap tokoh-tokoh politik dan kekuatan–kekuatan sosial politik yang dianggap lawannya. Di tengah-tengah panasnya gejolak politik waktu itu, Panglima Kodam XIII Merdeka Brigadir Jenderal Soenandar Prijosoedarmo, disamping tugasnya sebagai Pansda XIII Merdeka, berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 57 tahun 1965 tanggal 19 Maret 1965 diserahi tugas untuk menjabat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Utara, dengan tugas utama memulihkan dan menjaga keamanan dan ketertiban di semua sektor kehidupan masyarakat, sekaligus mengendalikan jalannya roda Pemerintahan Daerah, sampai tanggal 26 April 1966. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, Brigjen Soenandar Prijosoedarmo dibantu Badan Pemerintah Harian (BPH) yang beranggotakan Letkol Rumpokowiryo, Hasan Usman, Hamid Asagaf dan Husain Musa.
Pada tanggal 26 April 1966, Brigjen Soenandar Prijosoedarmo diganti oleh Residen Abdulah Amu sebagai Pejabat Gubernur Provinsi Sulawesi Utara berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 dimana salah satu ketentuan dalam undang-undang tersebut mengatur tentang tidak dirangkapnya lagi jabatan Ketua DPRD oleh Kepala Daerah. Dengan demikian terjadilah kekosongan jabatan kepemimpinan DPRD. Untuk mengisi kekosongan jabatan tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I Sulawesi Utara melalui Keputusan nomor 19/dprd/1966 tanggal 12 mei 1966 menyerahkan caretaker pimpinan DPRD Tingkat I Sulawesi Utara kepada J. Minggu, T.B. Makaminang, Gandhi Kalulu dan G. Lalamentik.
Sementara itu untuk membantu Pejabat Gubernur Abdullah Amu dalam menjalankan tugasnya, maka berdasarkan Surat Keputusan Pejabat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Utara. Nomor 274/1966 tanggal 30 Agustus 1966, telah dibentuk Badan Pekerja DPRD Tingkat I Sulawesi Utara yang disebut Steering Committee yang diketuai oleh F.W. Kumontoy, dan Badan Pemerintahan Harian (BPH) dengan para anggota Letkol Rumpokowiryo, Hasan Usman, Hamid Asagaf dan Abubakar Usman, dan Sekretaris Daerah Residen A.M. Jacobus.
Pada tanggal 10 Desember 1966 dengan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 31/DGR/66 telah ditetapkan Pimpinan DPRD-GR Provinsi Sulawesi Utara dengan Ketua Ahmad Husain dan Wakil Ketua U.P. Dondo B.Sc., F.W. Kumontoy, dan Mayor (AL) J. Mamusung. Tugas yang dilaksanakan mereka adalah memilih Gubernur Sulawesi Utara yang definitif.
Pada tanggal 2 Maret 1967 di depan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I Sulawesi Utara, Brigadir Jenderal H.V. Worang diambil sumpahnya dan dilantik menjadi Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Utara oleh Menteri Dalam Negeri Mayjen Gatot Suwagyo atas nama Presiden Republik Indonesia. H. V. Worang memegang jabatan sebagai Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Utara selama 11 tahun 3 bulan, yaitu dari tanggal pelantikannya 2 Maret 1967 sampai dengan 20 Juni 1978.
Dalam periode kepemimpinan Gubernur H.V. Worang, Sistem dan Pola Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah masih dilengkapi dengan Badan Pemerintahan Harian yang terdiri dari H.N. Pelealu, F. Punuh, Husain Musa, Hamid Assegaf dan Letkol Suwondo. Sedangkan Sekretaris Wilayah Daerah berturut-turut adalah B. Sumampouw, M. Warikki, W. Nayoan, M. H. W. Dotulong dan Drs. P.P. Kepel. Pada periode 1967–1971 DPRD Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Utara diketuai Achmad Husain dan periode 1971-1977 diketuai Letkol Alexander Siwi, Bupati J. A. Laimad dan Ketua DPRD hasil Pemilu 1977 adalah J. A. Wuisan.
Di masa H.V. Worang memangku Jabatan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Utara untuk yang kedua kalinya, lahirlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah yang mencabut/menggantikan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965. Mayor Jenderal H.V. Worang mengakhiri perjalanan kepemimpinannya sebagai gubernur yang terlama di Sulawesi Utara. Penggantinya adalah Brigjen TNI Willy Lasut, GA, Yang merupakan Gubernur Sulut yang keenam.
Gubernur Willy Lasut, GA, memulai tugasnya di Sulawesi Utara pada tanggal 20 Juni 1978 setelah beliau diambil sumpahnya dan dilantik di depan Sidang DPRD Tingkat I Sulawesi Utara berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 107/M Tahun 1978 tanggal 1 Juni 1978. Jabatan Sekretaris Wilayah/Daerah Tingkat I Sulawesi Utara dijabat oleh Drs. P.P. Kepel yang kemudian dilanjutkan oleh Drs. J. Rolos sebagai pelaksana tugas sehari-hari. Sedangkan Pimpinan DPRD Tingkat I Sulawesi Utara dijabat oleh J. A. Wuisan sebagai Ketua dengan Wakil Ketua masing-masing J. H. Pusung dan Hasan Usman.
Pada tanggal 20 Oktober 1979, sejarah Daerah Sulawesi Utara kembali mencatat tongkat estafet kepemimpinan. Jabatan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Utara diserahterimakan dari Brigadir Jenderal Willy Lasut, GA. kepada penggantinya Erman Hari Rustaman yang pada waktu itu menjabat Direktur Jenderal Sosial Politik Depdagri, berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 176/M Tahun 1979 tanggal 17 Oktober 1979, ditunjuk pula sebagai Pejabat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Utara, dengan satu tugas utama yaitu mempersiapkan pencalonan dan pemilihan Gubernur yang definitif.
Dalam periode kepemimpinan Pejabat Gubernur Erman Harirustaman, Jabatan Sekretaris Wilayah/Daerah Tingkat I Sulawesi Utara dipegang oleh J. Rolos, sedangkan kursi puncak kepemimpinan DPRD Tingkat I Sulawesi Utara sebagai Ketua adalah J.A. Wuisan, dan wakil-wakilnya adalah J.H. Pusung dan Hasan Usman.
Hanya kurang lebih enam bulan sejak diangkat sebagai Pejabat Gubernur, Erman Harirustaman berhasil merampungkan tugasnya dan pada tanggal 3 Maret 1980 jabatan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Utara diserahterimakan kepada Letnan Jenderal G.H. Mantik sebagai Gubernur kedelapan.
Periode kepemimpinan Gubernur G.H. Mantik yang berlangsung dalam kurun waktu 1980-1985 telah diwarnai dengan berbagai perkembangan, baik itu menyangkut penataan organisasi dan tata kerja maupun pembenahan administrasi. Hal itu ternyata telah menjadi dasar berpijak yang kukuh dalam memacu pembangunan di daerah Sulawesi Utara. Selama masa jabatannya, dua tokoh tampil sebagai Ketua DPRD dalam kurun waktu yang berbeda. Mereka adalah Letkol J.A. Wuisan, Ketua DPRD periode 1977 – 1982 dengan Wakil-wakil ketua J.H. Pusung dan H. Hasan usman. Kemudian dilanjutkan oleh F. Sumampouw, sebagai Ketua DPRD hasil Pemilu 1982, serta Wakil-wakil Ketua yaitu M. Toha dan H. Hasan Usman. Sedangkan Sekretaris Wilayah Daerah Tingkat I Sulawesi Utara dijabat oleh Drs. J. Rolos (Pejabat) dan kemudian dilanjutkan Kolonel I. Tangkudung.
Pada tanggal 4 Maret 1985, kembali sejarah Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Utara mencatat penggantian Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Utara untuk yang kesembilan kalinya. Brigadir Jenderal C.J. Rantung dilantik dalam Sidang Paripurna Khusus DPRD Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Utara untuk menggantikan Pejabat lama Letjen (Purn) G.H. Mantik yang telah habis masa jabatannya. Pelantikan C.J. Rantung sebagai Gubernur yang kesembilan berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 45/M Tahun 1985 tanggal 18 Februari 1985, untuk masa jabatan 1985-1990.
Setelah mengakhiri periode tersebut, maka Pemerintah Pusat dan masyarakat Sulawesi Utara kembali memberikan kepercayaan dan meletakkan harapan di pundak Mayor Jenderal (Purn) C.J. Rantung untuk memimpin kembali Daerah Sulawesi Utara, berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34/M Tahun 1990 tanggal 10 Februari 1990, yang pelantikannya dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri Rudini atas nama Presiden Republik Indonesia untuk masa bakti kedua Tahun 1990 – 1995. Selama periode kepemimpinan Gubernur C.J. Rantung dari Tahun 1985-1995, dia dibantu oleh Wakil Gubernur Drs. A. Mokoginta, kemudian dilanjutkan oleh Drs. A. Nadjamudin. Sementara itu, Sekretaris Wilayah Daerah Tingkat I Sulawesi Utara semasa kepemimpinan 10 tahun Gubernur C. J. Rantung, tercatat masing-masing Kolonel (Purn) I. Tangkudung, Kol. A.T. Dotulong, dan M. Arsjad Daud, S.H.
Sedangkan Pimpinan DPRD Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Utara, Ketua F. Sumampouw dengan Wakil-wakil Ketua M. Toha dan H. Hasan Usman, yang dilanjutkan oleh Pimpinan DPRD Hasil Pemilu 1997 yaitu Ketua F. Sumampouw dan Wakil-wakil Ketua Achmad H.S. Pakaya, F.P.D. Lengkey dan R. Tanos. Tahun 1995 kepemimpinan daerah dipercayakan kepada Mayjen TNI E.E. Mangindaan, dimana pada tanggal 1 Maret 1995 terpilih dan ditetapkan.
Dimasa kepemimpinan Gubernur E.E. Mangindaan, Ia didampingi oleh Wakil Gubernur Drs. A. Nadjamuddin, kemudian dilanjutkan oleh 2 (dua) orang Wakil Gubernur yaitu Brigjen J. B. Wenas dan Prof. Dr. H.A. Nusi dan Sekretaris Wilayah Daerah dijabat oleh M. Arsjad Daud, S.H. kemudian diganti oleh Drs. J. F. Mailangkay. Pimpinan DPRD Tingkat I Sulawesi Utara pada saat itu diketuai oleh Drs. J.D.P. Takaendengan serta Wakil-wakil ketua masing-masing Rolly Tanos, W. Walintukan, Dr. H.T. Usup dan Drs. Wempie Frederik. Kemudian tahun 1997-1999 Pimpinan DPRD adalah Brigjen (Purn) R. Tanos sebagai Ketua dengan Wakil-wakil Ketua Drs A. Nadjamuddin, Kol. W. Walintukan, Dra. Ny. J. Paruntu-T serta Drs. Syachrial Damopolii menggantikan Drs. A. Nadjamuddin (Alm). Setelah Pemilu 1999, Pimpinan DPRD dilanjutkan oleh Drs. A.J. Sondakh sebagai Ketua serta Wakil Ketua masing-masing Kol. S.Y. Pantouw, Drs. Sun Biki, dan F.H. Sualang.
Seiring dengan bergulirnya reformasi pemerintahan, maka berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dilakukan penggantian kepemimpinan daerah setelah berakhirnya kepemimpinan Mayjen E.E. Mangindaan melalui mekanisme pemilihan gubernur dan wakil dalam satu paket dan berlangsung secara demokratis, maka terpilihlah Drs. Adolf Jouke Sondakh sebagai Gubernur Sulawesi Utara yang kesebelas dan Freddy Harry Sualang selaku Wakil Gubernur Sulawesi Utara periode 2000 – 2005 berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 62/m Tahun 2000 tanggal 9 Maret 2000 dan pelantikannya dilakukan pada tanggal 15 Maret 2000 oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden. Dengan dibantu oleh Sekretaris Daerah Provinsi Drs. J.F. Mailangkay, yang kemudian dilanjutkan oleh Dr. Johanis Kaloh.
Implementasi Tahun Kasih ini dijabarkan dalam 4 (empat) “Sayang” yaitu Sayang Kepada Tuhan, Sayang Kepada Sesama Manusia, Sayang Kepada Diri Sendiri, dan Sayang Terhadap Lingkungan. Dalam era kepemimpinan Gubernur Drs. Adolf Jouke Sondakh dan Wakil Gubernur Freddy H. Sualang ini terus dibangun hubungan kemitraan dengan DPRD Provinsi Sulawesi Utara dibawah kepemimpinan Drs. Syachrial Damopolii sebagai Ketua, serta para Wakil Ketua masing-masing Ir. Roy Maningkas, S.Y. Pantouw, Drs. Sun Biki, yang kemudian J. Victor Mailangkay, SH. serta Drs. J. Parengkuan menggantikan Ir. Roy Maningkas. Dalam perjalanan panjang sampai dengan Tahun 2000, Wilayah Administrasi Provinsi Sulawesi Utara terdiri dari 5 Kabupaten dan 3 Kotamadaya yaitu : Kabupaten Minahasa, Bolaang Mongondow, Gorontalo, Sangihe dan Talaud, Boalemo serta Kotamadya Manado, Bitung dan Gorontalo.
Selanjutnya seiring dengan nuansa reformasi dan otonomi daerah, maka telah dilakukan pemekaran wilayah dengan terbentuknya Provinsi Gorontalo sebagai hasil pemekaran dari Provinsi Sulawesi Utara melalui Undang-undang Nomor 38 Tahun 2000. Dengan demikian, wilayah Provinsi Sulawesi Utara setelah pemekaran provinsi meliputi : Kabupaten Sangihe dan Talaud, Kabupaten Minahasa, Kabupaten Bolaang Mongondow, Kota Manado dan Kota Bitung. Hingga saat ini telah terjadi pemekaran kabupaten dengan ketambahan kabupaten baru yaitu Kabupaten Talaud berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2002 serta Kabupaten Minahasa Selatan dan Kota Tomohon berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2003, dan Kabupaten Minahasa Utara berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2003.
Dengan berakhirnya kepemimpinan Drs. A.J. Sondakh dan F.H. Sualang 2000 – 2005, maka perlu dilaksanakan pemilihan kepala daerah; gubernur dan wakil gubernur di daerah ini. untuk itu, guna menindaklanjuti masa transisi menuju kepemimpinan kepala daerah yang definitif, maka Ir. Lucky Harry Korah, M.Si. dilantik oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 17 Maret 2005 di Jakarta sebagai Penjabat Gubernur Sulawesi Utara dengan tugas memfasilitasi dan mengawasi jalannya pemilihan gubernur dan wakil gubernur secara langsung.
Pada tanggal 21 Juli 2005 untuk pertama kali di Indonesia dilakukan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Utara secara langsung oleh rakyat, dimana berhasil terpilih pasangan S.H. Sarundajang sebagai Gubernur Sulawesi Utara dan F.H. Sualang sebagai Wakil Gubernur Sulawesi Utara untuk masa bhakti 2005 – 2010. Sedangkan Ketua DPRD dijabat oleh Drs. Syarial Damapolii yang dibantu oleh wakil ketua masing-masing Djendri Keintjem, R. Pandegirot, dan Arthur Kotambunan. Untuk Sekretaris daerah selama periode pertama dipegang oleh Dr. Johanis Kaloh kemudian dilanjutkan oleh Drs. R.J. Mamuaja pada tahun 2006, sampai saat ini. Namun dalam masa tugas Drs. R.J. Mamuaja juga ditunjuk Plt. Sekretaris daerah yaitu berturut turut Hr. Makagansa dan Siswa Rahmat Mokodongan.
Dalam masa kepemimpinan S.H. Sarundajang dan F.H. Sualang, wilayah administrasi pemerintahan Sulawesi Utara mengalami ketambahan 4 (empat) kabupaten/kota baru pada tahun 2007 yakni Kota Kotamobagu berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2007, Kab. Minahasa Tenggara berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2007, Kab. Bolmong Utara berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2007 dan Kab. Siau Tagulandang Biaro berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2007. Pada tahun 2008 ketambahan lagi 2 (dua) kabupaten baru yakni Kabupaten Bolaang Mongondow Timur berdasarkan Undang-undang Nomor 29 Tahun 2008 dan Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2008 sehingga jumlah daerah otonom di Provinsi Sulawesi Utara menjadi 11 (sebelas) kabupaten dan 4 (empat) kota.
Melalui pemilihan langsung Gubernur dan wakil Gubernur Untuk kedua kalinya Sarundajang terpilih sebagai Gubernur Sulawesi Utara masa bakti 2010-2015 didampingi Wakil Gubernur Drs. Djouhari Kansil, M.Pd. Sedangkan Ketua DPRD dijabat oleh Pdt. Mieva Salindeho, S.Th., dibantu wakil ketua masing-masing Jody Watung, Sus Pangemanan dan Arthur Kotambunan. Untuk Sekretaris Daerah tetap dipegang oleh pelaksana tugas Ir. Siswa Rahmat Mokodongan, kemudian dikembalikan lagi kepada Drs. R.J. Mamuaja sampai pada tanggal 7 Maret 2011 yang dilanjutkan oleh Ir. Siswa Rahmat Mokodongan.
Sumber : http://www.seputarsulut.com
Kebudayaan Papua
Adat Seni dan Budaya Papua
Seni dan Budaya
Seni
dan budaya papua_ Papua dulu bernama Irian Jaya pulau paling timur
wilayah negara Indonesia. Sebagai pulau yang juga terkenal akan kekayaan
hasil buminya, masyarakat pulau Papua pun juga memiliki kekayaan dalam ragam seni dan budaya.
* Apa saja ragam seni dan budaya yang ada di Papua ?
Mari kita bersama-sama menengok ragam adat seni dan budaya yang ada di pulau paling timur Indonesia ini !
Mari kita bersama-sama menengok ragam adat seni dan budaya yang ada di pulau paling timur Indonesia ini !
Sebagai salah satu seni kebudayaan yang ada di Papua maka tidak ada
salahnya kita bisa menyebutnya seni kebudayaan kita juga, walaupun tidak
semua para Sahabat Awan yang membaca artikel ini berasal dari pulau
Papua. Entah itu dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali, Sulawesi, atau
pulau-pulau lain yang secara pribadi Awan tidak bisa menyebutnya satu
persatu.
Dengan alasan apa kita bisa menyebut seni budaya Papua juga merupakan ragam seni dan budaya kita juga ? Jawabannya hanya ada satu, bahwa Papua adalah merupakan salah satu wilayah yang berada dibawah naungan NKRI, dengan falsafah Bhineka Tunggal Ika.
Jadi tidak salah jika kita menyebut ragam seni dan budaya Papua sama saja dengan kita menyebut kekayaan ragam seni dan budaya Indonesia, yang perlu kita jaga dan lestarikan keberadaanya.
Dengan alasan apa kita bisa menyebut seni budaya Papua juga merupakan ragam seni dan budaya kita juga ? Jawabannya hanya ada satu, bahwa Papua adalah merupakan salah satu wilayah yang berada dibawah naungan NKRI, dengan falsafah Bhineka Tunggal Ika.
Jadi tidak salah jika kita menyebut ragam seni dan budaya Papua sama saja dengan kita menyebut kekayaan ragam seni dan budaya Indonesia, yang perlu kita jaga dan lestarikan keberadaanya.
yang akan kita ambil sebagai contoh dari kekayaan ragam seni dan budaya Papua adalah :
=> Pertama_ Alat musik tradisional Tifa.
Tifa merupakan salah satu alat musik pukul yang bentuknya hampir mirip
dengan gendang. Alat musik Tifa terbuat dari kayu yang mana pada bagian
tengah kayu tersebut dibuat lubang besar yang dibersihkan/dikosngkan.
Lalu kemudian ujung salah satu kayu tersebut ditutup dengan mengunakan
kulit rusa yang telah dikeringkan terlebih dahulu, dimaksudkan agar alat
musik Tifa ini bisa menghasilkan suara yang indah dan bagus.
Alat musik Tifa sering dimainkan sebagai instrumen musik tradisional atau untuk mengiring berbagai tarian tradisional seperti: tarian perang, tarian tradisional Asmat, dan tarian Gatsi.
Selain dari Papua alat musik ini juga berasal dari maluku, jadi antara Papua dan Maluku mempunyai alat musik yang sama. Tapi tidak apa yang penting semuanya adalah kekayaan seni yang ada di nusantara Indonesia ini.
Alat musik Tifa sering dimainkan sebagai instrumen musik tradisional atau untuk mengiring berbagai tarian tradisional seperti: tarian perang, tarian tradisional Asmat, dan tarian Gatsi.
Selain dari Papua alat musik ini juga berasal dari maluku, jadi antara Papua dan Maluku mempunyai alat musik yang sama. Tapi tidak apa yang penting semuanya adalah kekayaan seni yang ada di nusantara Indonesia ini.
=> Kedua_ Tarian tradisional Papua.
Sebagai
daerah yang kaya akan ragam seni budaya, Papua memiliki beberapa tarian
tradisonal yang menjadi ciri khas masyarakat Papua biasa menyebutnya
dengan sebutan Yosim Pancar ( Y0SPAN), dalam tari ini terdapap beberapa
bentuk gerak tarian diantaranya tari Pacul Tiga, tari Seka, tari Sajojo,
tari Balada serta tari Cendrawasih. Tarian tradisional Papua ini sering
di mainkan dalam berbagai kesempatan seperti untuk penyambutan tamu
terhormat, penyambutan para turis asing yang datang ke Papua serta
dimainkan adalah dalam upacara adat.
=> Ketiga_ Pakaian Adat Tradisional Papua.
Pakaian adat Papua untuk pria dan wanita hampir sama bentuknya. Pakaian
adat tersebuta memakai hiasan-hiasan seperti hiasan kepala berupa burung
cendrawasih, gelang, kalung, dan ikat pinggang dari manik-manik, serta
rumbai-rumbai pada pergelangan kaki.
=> Keempat_ Rumah Adat Papua.
Nama rumah asli Papua adalah Honai yaitu rumah khas asli Papua yang
dihuni oleh Suku Dani. Bahan untuk membuat rumah Honai dari kayu dengan
dan atapnya berbentuk kerucut yang terbuat dari jerami atau ilalang.
Rumah tradisional Honai mempunyai pintu yang kecil dan tidak berjendela.
Umumnya rumah Honai terdiri dari 2 lantai yang terdiri dari lantai
pertama untuk tempat tidur sedangkan lantai kedua digunakan sebagai
tempat untuk bersantai, makan, serta untuk mengerjakan kerajinan tangan.
http://agvnk-0n3.blogspot.com
1. Furnivall
Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu satu kesatuan politik.
2. Clifford Gertz
Masyarakat multikultural adalah merupakan masyarakat yang terbagi dalam sub-sub sistem yang kurang lebih berdiri sendiri dan masing-masing sub sistem terkait oleh ikatan-ikatan primordial.
3. Nasikun
Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat bersifat majemuk sejauh masyarakat tersebut secara setruktur memiliki sub-subkebudayaan yang bersifat deverseyang ditandai oleh kurang berkembangnya sistem nilai yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat dan juga sistem nilai dari satu-kesatuan sosial, serta seringnya muncul konflik-konflik sosial.
4. Kesimpulan saya
Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang teriri dari berbagai elemen, baik itu suku, ras, dll yang hidup dalam suatu kelompok masyrakat yang memiliki satu pemerintaha tetapi dalam masyarakat itu masig terdapat segmen- segmen yang tidak bisa disatukan.
Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu satu kesatuan politik.
2. Clifford Gertz
Masyarakat multikultural adalah merupakan masyarakat yang terbagi dalam sub-sub sistem yang kurang lebih berdiri sendiri dan masing-masing sub sistem terkait oleh ikatan-ikatan primordial.
3. Nasikun
Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat bersifat majemuk sejauh masyarakat tersebut secara setruktur memiliki sub-subkebudayaan yang bersifat deverseyang ditandai oleh kurang berkembangnya sistem nilai yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat dan juga sistem nilai dari satu-kesatuan sosial, serta seringnya muncul konflik-konflik sosial.
4. Kesimpulan saya
Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang teriri dari berbagai elemen, baik itu suku, ras, dll yang hidup dalam suatu kelompok masyrakat yang memiliki satu pemerintaha tetapi dalam masyarakat itu masig terdapat segmen- segmen yang tidak bisa disatukan.
CIRI-CIRI MASYARAKAT MULTIKULTURAL
1. Terjadi segmentasi, yaitu masyarakat yang terbentuk oleh bermacam-macam suku,ras,dll tapi masih memiliki pemisah. Yang biasanya pemisah itu adalah suatu konsep yang di sebut primordial. Contohnya, di Jakarta terdiri dari berbagai suku dan ras, baik itu suku dan ras dari daerah dalam negri maupun luar negri, dalam kenyataannya mereka memiliki segmen berupa ikatan primordial kedaerahaannya.
2. Memilki struktur dalam lembaga yang non komplementer, maksudnya adalah dalam masyarakat majemuk suatu lembaga akam mengalami kesulitan dalam menjalankan atau mengatur masyarakatnya alias karena kurang lengkapnya persatuan tyang terpisah oleh segmen-segmen tertentu.
3. Konsesnsus rendah, maksudnya adalah dalam kelembagaan pastinya perlu adany asuatu kebijakan dan keputusan. Keputusan berdasarkan kesepakatan bersama itulah yang dimaksud konsensus, berarti dalam suatu masyarakat majemuk sulit sekali dalam penganbilan keputusan.
4. Relatif potensi ada konflik, dalam suatu masyarakat majemuk pastinya terdiri dari berbagai macam suku adat dankebiasaan masing-masing. Dalam teorinya semakin banyak perbedaan dalam suatu masyarakat, kemungkinan akan terjadinya konflik itu sangatlah tinggi dan proses peng-integrasianya juga susah
5. Integrasi dapat tumbuh dengan paksaan, seperti yang sudah saya jelaskan di atas, bahwa dalam masyarakat multikultural itu susah sekali terjadi pengintegrasian, maka jalan alternatifnya adalah dengan cara paksaan, walaupun dengan cara seperti ini integrasi itu tidak bertahan lama.
6. Adanya dominasi politik terhadap kelompok lain, karena dalam masyarakat multikultural terdapat segmen-segmen yang berakibat pada ingroup fiiling tinggi maka bila suaru ras atau suku memiliki suatu kekuasaan atas masyarakat itu maka dia akan mengedapankan kepentingan suku atau rasnya.
SEBAB TERJADINYA MULTIKULTURALISME
1. Factor geografis,faktor ini sangat mempengarudi apa dan
bagaimana kebiasaan sua tu masyarakat. Maka dalam suatu daera yang memiliki
kondisi geografis yang berbeda maka akan terdapat perbedaan dalam masyarakat(
multikultural).
2. Pengaruh budaya asing, mengapa budaya asing menjadi penyebab terjadinya multikultural, karena masyarakat yang sudah mengetahui budaya-budaya asing kemungkinan akan terpengaruh mind set mereka dan menjadkan perbedaan antara
3. Kondisi iklim yang berbeda, maksudnya hampir sama denga perbedaan letak geografis suatu daerah.
2. Pengaruh budaya asing, mengapa budaya asing menjadi penyebab terjadinya multikultural, karena masyarakat yang sudah mengetahui budaya-budaya asing kemungkinan akan terpengaruh mind set mereka dan menjadkan perbedaan antara
3. Kondisi iklim yang berbeda, maksudnya hampir sama denga perbedaan letak geografis suatu daerah.
BENTUK MASYARAKAT MULTIKULTURAL
1. INTERSEKSI
A) Konsep
Interseksi merupakan suatu titik potong atau pertemuan. Dalam sosiologi, interseksi dikenal sebagai suatu golongan etnik yang majemuk.
B) Definisi
Dalam Sosiologi, interseksi adalah persilangan atau pertemuan keanggotaan suatu kelompok sosial dari berbagai seksi. Baik berupa suku, agama, jenis kelamin, kelas sosial, dan lain-lain dalam suatu masyarakat majemuk.
Suatu interseksi terbentuk melalui interaksi sosial atau pergaulan yang intensif dari anggota-anggotanya melalui sarana pergaulan dalam kebudayaan manusia, antara lain bahasa, kesenian, sarana transportasi, pasar, sekolah. Dalam memanfaatkan sarana-sarana interseksi sosial itu, anggota masyarakat dari latar belakang ras, agama, suku, jenis kelamin, tingkat ekonomi, pendidikan, atau keturunan berbeda-beda dapat bersama-sama menjadi anggota suatu kelompok sosial tertentu atau menjadi penganut agama tertentu.
C) Penjelasan definisi
Jadi, yang dimaksud dengan interseksi adalah suatu masyarakat yang terdiri dari banyak suku,budaya,agama, dll yang berbaur menjadi satu kesatuan di dalam komunitas tertentu.
Interseksi merupakan suatu titik potong atau pertemuan. Dalam sosiologi, interseksi dikenal sebagai suatu golongan etnik yang majemuk.
B) Definisi
Dalam Sosiologi, interseksi adalah persilangan atau pertemuan keanggotaan suatu kelompok sosial dari berbagai seksi. Baik berupa suku, agama, jenis kelamin, kelas sosial, dan lain-lain dalam suatu masyarakat majemuk.
Suatu interseksi terbentuk melalui interaksi sosial atau pergaulan yang intensif dari anggota-anggotanya melalui sarana pergaulan dalam kebudayaan manusia, antara lain bahasa, kesenian, sarana transportasi, pasar, sekolah. Dalam memanfaatkan sarana-sarana interseksi sosial itu, anggota masyarakat dari latar belakang ras, agama, suku, jenis kelamin, tingkat ekonomi, pendidikan, atau keturunan berbeda-beda dapat bersama-sama menjadi anggota suatu kelompok sosial tertentu atau menjadi penganut agama tertentu.
C) Penjelasan definisi
Jadi, yang dimaksud dengan interseksi adalah suatu masyarakat yang terdiri dari banyak suku,budaya,agama, dll yang berbaur menjadi satu kesatuan di dalam komunitas tertentu.
2. KONSOLIDASI
A) Konsep
Suatu proses penguatan pemikiran atas kepercayaan yang telah diyakini agar kepercayaan akan sesuatu yang diyakini semakin kuat. Yang mana hal ini dilakukan oleh orang yang lebih mengerti akan kepercayaan yang dianut.
B) Definisi
Konsolidasi adalah suatu proses penguatan yang dilakukan untuk memberikan tambahan keimanan atas apa yang telah seseorang yakini, yang biasanya dilakukan oleh orang yang sudah mencapai tingkatan tertenatu.
C) Penjelasan definisi
Jadi, yang dimaksud dengan konsolidasi adalah suatu penguatan atas apa yang telah melekat pada dirinya.
Suatu proses penguatan pemikiran atas kepercayaan yang telah diyakini agar kepercayaan akan sesuatu yang diyakini semakin kuat. Yang mana hal ini dilakukan oleh orang yang lebih mengerti akan kepercayaan yang dianut.
B) Definisi
Konsolidasi adalah suatu proses penguatan yang dilakukan untuk memberikan tambahan keimanan atas apa yang telah seseorang yakini, yang biasanya dilakukan oleh orang yang sudah mencapai tingkatan tertenatu.
C) Penjelasan definisi
Jadi, yang dimaksud dengan konsolidasi adalah suatu penguatan atas apa yang telah melekat pada dirinya.
3. PRIMORDIALISME
A) Konsep
Primordialisme adalah sebuah pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya.
Primordialisme adalah sebuah pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya.
B) Definisi
Primordialisme berasal dari kata bahasa latin primus yang artinya pertama dan ordiri yang artinya tenunan atau ikatan.
Ikatan seseorang pada kelompok yang pertama dengan segala nilai yang diperolehnya melalui sosialisasi akan berperan dalam membentuk sikap primordial. Di satu sisi, sikap primordial memiliki fungsi untuk melestarikan budaya kelompoknya. Namun, di sisi lain sikap ini dapat membuat individu atau kelompok memiliki sikap etnosentrisme, yaitu suatu sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya orang lain. Mereka akan selalu memandang budaya orang lain dari kacamata budayanya. Hal ini terjadi karena nilai-nilai yang telah tersosialisasi sejak kecil sudah menjadi nilai yang mendarah daging (internalized value) dan sangatlah susah untuk berubah dan cenderung dipertahankan bila nilai itu sangat menguntungkan bagi dirinya.
Primordialisme berasal dari kata bahasa latin primus yang artinya pertama dan ordiri yang artinya tenunan atau ikatan.
Ikatan seseorang pada kelompok yang pertama dengan segala nilai yang diperolehnya melalui sosialisasi akan berperan dalam membentuk sikap primordial. Di satu sisi, sikap primordial memiliki fungsi untuk melestarikan budaya kelompoknya. Namun, di sisi lain sikap ini dapat membuat individu atau kelompok memiliki sikap etnosentrisme, yaitu suatu sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya orang lain. Mereka akan selalu memandang budaya orang lain dari kacamata budayanya. Hal ini terjadi karena nilai-nilai yang telah tersosialisasi sejak kecil sudah menjadi nilai yang mendarah daging (internalized value) dan sangatlah susah untuk berubah dan cenderung dipertahankan bila nilai itu sangat menguntungkan bagi dirinya.
C) Penjelasan definisi
Jadi, suatu primordialisme adalah suatu kepercayaan yang sudah mendarah daging. Maka setiap orang yang memiliki primordial pasti dia akan sulit menerima paham lain selain paham yang telah mendarah daging dalam dirinya.
Jadi, suatu primordialisme adalah suatu kepercayaan yang sudah mendarah daging. Maka setiap orang yang memiliki primordial pasti dia akan sulit menerima paham lain selain paham yang telah mendarah daging dalam dirinya.
4. ETNOSENTRISME
A) Konsep
Etnosentris sangat erat hubungannya dengan apa yang disebut in group feeling (keikut sertaan dalam kelompok) tinggi. Biasanya dalam suatu kelompok sosial sering kita melihat perang antar desa, perang antar suku ataupun perang dalam agama dan sebagainya. Tapi entosentris lebih kepada anggapan suatu kelompok sosial bahwa kelompoknyalah yang paling unggul.
B) Definisi
Jadi, yang dimaksud dengan etnosentris adalah suatu anggapan dari kelompok sosial bahwa kelompoknyalah yang paling unggul.
Etnosentris sangat erat hubungannya dengan apa yang disebut in group feeling (keikut sertaan dalam kelompok) tinggi. Biasanya dalam suatu kelompok sosial sering kita melihat perang antar desa, perang antar suku ataupun perang dalam agama dan sebagainya. Tapi entosentris lebih kepada anggapan suatu kelompok sosial bahwa kelompoknyalah yang paling unggul.
B) Definisi
Jadi, yang dimaksud dengan etnosentris adalah suatu anggapan dari kelompok sosial bahwa kelompoknyalah yang paling unggul.
C) Penjelasan definisi
Dari definisi di atas kita dapat memahami bahwa dalam suatu masyarakat majemuk terdapat suatu kelompok yang beranggapan bahwa kelompoknyalah yang paling unggul dari kelompok-kelompok sosial lain.
Dari definisi di atas kita dapat memahami bahwa dalam suatu masyarakat majemuk terdapat suatu kelompok yang beranggapan bahwa kelompoknyalah yang paling unggul dari kelompok-kelompok sosial lain.
5. POLITIK ALIRAN
A) Konsep
Politik aliran adalah suatu kelompok masyarakat yang tergabung dalam ormas-ormas yang memiliki suatu pemersatu berupa partai politik dalam suatu negara, sehingga ormas tersebut dikatakan penganut partai yang memang dijadikan pemersatu dalam negara.
B) Definisi
Politik Aliran adalah suatu organisasi masyarakat yang memiliki dekengan (jawa) untuk memelihara dan menyejahterakan anggotanya. Contoh : Hahdhotul Ulama’ memiliki dekengan berupa Partai Kebangkitan Bangsa(PKB), Muhammadiyyah memiliki dekengan berupa Partai Amanat Nasional(PAN), dll.
Politik aliran adalah suatu kelompok masyarakat yang tergabung dalam ormas-ormas yang memiliki suatu pemersatu berupa partai politik dalam suatu negara, sehingga ormas tersebut dikatakan penganut partai yang memang dijadikan pemersatu dalam negara.
B) Definisi
Politik Aliran adalah suatu organisasi masyarakat yang memiliki dekengan (jawa) untuk memelihara dan menyejahterakan anggotanya. Contoh : Hahdhotul Ulama’ memiliki dekengan berupa Partai Kebangkitan Bangsa(PKB), Muhammadiyyah memiliki dekengan berupa Partai Amanat Nasional(PAN), dll.
Masyarakat Majemuk
Indonesia
Masyarakat majemuk
terbentuk dari dipersatukannya masyarakat-masyarakat suku bangsa oleh sistem
nasional, yang biasanya dilakukan secara paksa (by force) menjadi sebuah bangsa
dalam wadah negara. Sebelum Perang Dunia kedua, masyarakat-masyarakat negara jajahan
adalah contoh dari masyarakat majemuk. Sedangkan setelah Perang Dunia kedua
contoh-contoh dari masyarakat majemuk antara lain, Indonesia, Malaysia, Afrika
Selatan, dan Suriname. Ciri-ciri yang menyolok dan kritikal dari masyarakat
majemuk adalah hubungan antara sistem nasional atau pemerintah nasional dengan
masyrakat suku bangsa, dan hubungan di antara masyarakat suku bangsa yang
dipersatukan oleh sistem nasional. Dalam perspektif hubngan kekuatan, sistem
nasional atau pemerintahan nasional adalah yang dominan dan
masyarakat-masyarakat suku bangsa adalah minoritas. Hubungan antara pemerintah
nasional dengan masyarakat suku bangsa dalam masyarakat jajahan selalu
diperantarai oleh golongan perantara, yang posisi ini di hindia Belanda
dipegang oleh golongan Cina, Arab, dan Timur Asing lainnya untuk kepentingan
pasar. Sedangkan para sultan dan raja atau para bangsawan yang disukung oleh
para birokrat (priyayi) digunakan untuk kepentingan pemerintahan dan
penguasaan. Atau dipercayakan kepada para bangsawan dan priyayi untuk
kelompok-kelompok suku bangsa yang digolongkan sebagai terbelakang atau
primitif.
Dalam masyarakat
majemuk dengan demikian ada perbedaan-perbedaan sosial, budaya, dan politik
yang dikukuhkan sebagai hukum ataupun sebagai konvensi sosial yang membedakan
mereka yang tergolong sebagai dominan yang menjadi lawan dari yang minoritas.
Dalam masyarakat Hindia Belanda, pemerintah nasional atau penjajah mempunyai
kekutan iliter dan polisi yang dibarengi dengan kekuatan hukum untuk memaksakan
kepentingan-kepentingannya, yaitu mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia.
Dalam struktur hubungan kekuatan yang berlaku secara nasional, dalalm
penjajahan hindia Belanda terdapat golongan yang paling dominan yang berada
pada lapisan teratas, yaitu orang Belanda dan orang kulit putih, disusul oleh
orang Cina, Arab, dan Timur asing lainnya, dan kemuian yang terbawah adalah
mereka yang tergolong pribumi. Mereka yang tergolong pribumi digolongkan lagi
menjadi yang tergolong telah menganl peradaban dan meraka yang belum mengenal
peradaban atau yang masih primitif. Dalam struktur yang berlaku nasional ini
terdapat struktur-struktur hubungan kekuatan dominan-minoritas yang bervariasi
sesuai konteks-konteks hubungan dan kepentingan yang berlaku.
Dalam masa pendudukan
Jepang di Indonesia, pemerintah penajajahan Jepang yang merupakan pemerintahan
militer telah memposisikan diri sebagai kekuatan memaksa yang maha besar dalam
segala bidang kehidupan masyarakat suku bangsa yang dijajahnya. Dengan
kerakusannya yang luar biasa, seluruh wilayah jajahan Jepang di Indonesia
dieksploitasi secara habis habisan baik yang berupa sumber daya alam fisik
maupun sumber daya manusianya (ingat Romusha), yang merupakan kelompok
minoritas dalam perspektif penjajahan Jepang. Warga masyarakat Hindia Belanda
yang kemudian menjadi warga penjajahan Jepang menyadari pentingnya memerdekakan
diri dari penjajahan Jepang yang amat menyengsarakan mereka, emmerdekakan diri
pada tanggal 17 agustus tahun 1945, dipimpin oleh Soekarno-Hatta.
Proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia, yang disemangati oleh Sumpah Pemuda tahun 1928,
sebetulnya merupakan terbentuknya sebuah bangsa dalam sebuah negara yaitu
Indonesia tanpa ada unsur paksaan. Pada tahun-tahun penguasaan dan pemantapan
kekuasaan pemerintah nasional barulah muncul sejumlah pemberontakan
kesukubangsaan-keyakinan keagamaan terhadap pemerintah nasional atau pemerintah
pusat, seperti yang dilakukakn oleh DI/TII di jawa Barat, DI/TII di Sulawesi
Selatan, RMS, PRRI di Sumatera Barat dan Sumatera Selatan, Permesta di Sulawesi
Utara, dan berbagai pemberontakan dan upaya memisahkan diri dari Republik
Indonesia akhir-akhir ini sebagaimana yang terjadi di Aceh, di Riau, dan di
Papua, yang harus diredam secara militer. Begitu juga dengan kerusuhan berdarah
antar suku bangsa yang terjadi di kabupaten Sambas, Kalimantan Tengah, Sulawesi
Tengah, dan Maluku yang harus diredam secara paksa. Kesemuanya ini menunjukkan
adanya pemantapan pemersatuan negara Indonesia secara paksa, yang disebabkan
oleh adanya pertentangan antara sistem nasional dengan masyarakat suku bangsa
dan konflik di antara masyarakat-masyarakat suku bangsa dan keyakinan keagamaan
yang berbeda di Indonesia.
Dalam era
diberlakukannya otonomi daerah, siapa yang sepenuhnya berhak atas sumber daya alam,
fisik, dan sosial budaya, juga diberlakukan oleh pemerintahan lokal, yang
dikuasai dan didominasi administrasi dan politiknya oleh putra daerah atau
mereka yang secara suku bangsa adalah suku bangsa yang asli setempat. Ini
berlaku pada tingkat provinsi maupun pada tingkat kabupaten dan wilayah
administrasinya. Ketentuan otonomi daerah ini menghasilkan golongan dominan dan
golongan minoritas yang bertingkat-tingkat sesuai dengan kesukubangsaan yang
bersangkutan. Lalu apakah itu dinamakan minoritas dan dominan?
Hubungan
Dominan-Minoritas
Kelompok minoritas
adalah orang-orang yang karena ciri-ciri fisik tubuh atau asal-usul
keturunannya atau kebudayaannya dipisahkan dari orang-orang lainnya dan
diperlakukan secara tidak sederajad atau tidak adil dalam masyarakat dimana
mereka itu hidup. Karena itu mereka merasakan adanya tindakan diskriminasi
secara kolektif. Mereka diperlakukan sebagai orang luar dari masyarakat dimana
mereka hidup. Mereka juga menduduki posisi yang tidak menguntungkan dalam
kehidupan sosial masyarakatnya, karena mereka dibatasi dalam sejumlah
kesempatan-kesempatan sosial, ekonomi, dan politik. Mereka yang tergolong
minoritas mempunyai gengsi yang rendah dan seringkali menjadi sasaran
olok-olok, kebencian, kemarahan, dan kekerasan. Posisi mereka yang rendah
termanifestasi dalam bentuk akses yang terbatas terhadap kesempatan-kesempatan
pendidikan, dan keterbatasan dalam kemajuan pekerjaan dan profesi.
Keberadaan
kelompok minoritas selalu dalam kaitan dan pertentangannya dengan kelompok dominan,
yaitu mereka yang menikmati status sosial tinggi dan sejumlah keistimewaan yang
banyak. Mereka ini mengembangkan seperangkat prasangka terhadap golongan
minoritas yang ada dalam masyarakatnya. Prasangka ini berkembang berdasarkan
pada adanya (1) perasaan superioritas pada mereka yang tergolong dominan; (2)
sebuah perasaan yang secara intrinsik ada dalam keyakinan mereka bahwa golongan
minoritas yang rendah derajadnya itu adalah berbeda dari mereka dantergolong
sebagai orang asing; (3) adanya klaim pada golongan dominan bahwa sebagai akses
sumber daya yang ada adalah merupakan hak mereka, dan disertai adanya ketakutan
bahwa mereka yang tergolong minoritas dan rendah derajadnya itu akan mengambil
sumberdaya-sumberdaya tersebut.
Dalam pembahasan
tersebut di atas, keberadaan dan kehidupan minoritas yang dilihat dalam
pertentangannya dengan dominan, adalah sebuah pendekatan untuk melihat
minoritas dengan segala keterbatasannya dan dengan diskriminasi dan perlakukan
yang tidak adil dari mereka yang tergolong dominan. Dalam perspektif ini,
dominan-minoritas dilihat sebagai hubungan kekuatan. Kekuatan yang terwujud
dalam struktur-struktur hubungan kekuatan, baik pada tingkat nasional maupun
pada tingkat-tingkat lokal. Bila kita melihat minoritas dalam kaitan atau
pertentangannya dengan mayoritas maka yang akan dihasilkan adalah hubungan
mereka yang populasinya besar (mayoritas) dan yang populasinya kecil
(minoritas). Perspektif ini tidak akan dapat memahami mengapa golongan
minoritas didiskriminasi. Karena besar populasinya belum tentu besar
kekuatannya.
Konsep
diskriminasi sebenarnya hanya digunakan untuk mengacu pada tindakan-tindakan
perlakuakn yang berbeda dan merugikan terhadap mereka yang berbeda secara
askriptif oleh golongan yang dominan. Yang termasuk golongan sosial askriptif
adalah suku bangsa (termasuk golongan ras, kebudayaan sukubangsa, dan keyakinan
beragama), gender atau golongan jenis kelamin, dan umur. Berbagai tindakan
diskriminasi terhadap mereka yang tergolong minoritas, atau pemaksaan untuk
merubah cara hidup dan kebudayaan mereka yang tergolong minoritas (atau
asimilasi) adalah pola-pola kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat
majemuk. Berbagai kritik atau penentangan terhadap dua pola yang umum dilakukan
oleh golongan dominan terhadap minoritas biasanya tidak mempan, karena golongan
dominan mempunyai kekuatan berlebih dan dapat memaksakan kehendak mereka baik
secara kasar dengan kekuatan militer dan atau polisi atau dengan menggunakan
ketentuan hukum dan berbagai cara lalin yang secara sosial dan budaya masuk
akal bagi kepentingan mereka yang dominan. Menurut pendapat saya, cara yang
terbaik adalah dengan merubah masyarakat majemuk (plural society) menjadi
masyarakat multikultural (multicultural society), dengan cara mengadopsi
ideologi multikulturalisme sebagai pedoman hidup dan sebagai keyakinan bangsa
Indonesia untuk diaplikasikan dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Multikulturalisme
dan Kesederajatan
Multikulturalisme
adalah sebuah ideologi yang menekankan pengakuan dan penghargaan pada
kesederajatan perbedaan kebudayaan. Tercakup dalam pengertian kebudayaan adalah
para pendukung kebudayaan, baik secara individual maupun secara kelompok, dan
terutma ditujukan terhadap golongan sosial askriptif yaitu sukubangsa (dan
ras), gender, dan umur. Ideologi multikulturalisme ini secara bergandengan
tangan saling mendukung dengan proses-proses demokratisasi, yang pada dasarnya
adalah kesederajatan pelaku secara individual (HAM) dalam berhadapan dengan
kekuasaan dan komuniti atau masyarakat setempat.
Sehingga upaya
penyebarluasan dan pemantapan serta penerapan ideologi multikulturalisme dalam
masyarakat Indonesia yang majemuk, mau tidak mau harus bergandengan tangan
dengan upaya penyebaran dan pemantapan ideologi demokrasi dan kebangsaan atau kewarganegaraan
dalam porsi yang seimbang. Sehingga setiap orang Indoensia nantinya, akan
mempunyai kesadaran tanggung jawab sebagai orang warga negara Indonesia,
sebagai warga sukubangsa dankebudayaannya, tergolong sebagai gender tertentu,
dan tergolong sebagai umur tertentu yang tidak akan berlaku sewenang-wenang
terhadap orang atau kelompok yang tergolong lain dari dirinya sendiri dan akan
mampu untuk secara logika menolak diskriminasi dan perlakuakn sewenang-wenang
oleh kelompok atau masyarakat yang dominan. Program penyebarluasan dan
pemantapan ideologi multikulturalisme ini pernah saya usulkan untuk dilakukan
melalui pendidikakn dari SD s.d. Sekolah Menengah Atas, dan juga S1
Universitas. Melalui kesempatan ini saya juga ingin mengusulkan bahwa ideologi
multikulturalisme seharusnya juga disebarluaskan dan dimantapkan melalui
program-program yang diselenggarakan oleh LSM yang yang sejenis.
Mengapa perjuangan
anti-diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas dilakukan melalui
perjuangan menuju masyarakat multikultural? Karena perjuangan anti-diskriminasi
dan perjuangan hak-hak hidup dalam kesederajatan dari minoritas adalah
perjuangan politik, dan perjuangan politik adalah perjuangan kekuatan.
Perjuangan kekuatan yang akan memberikan kekuatan kepada kelompok-kelompok
minoritas sehingga hak-hak hidup untuk berbeda dapat dipertahankan dan tidak
tidak didiskriminasi karena digolongkan sebagai sederajad dari mereka yang
semula menganggap mereka sebagai dominan. Perjuangan politik seperti ini
menuntut adanya landasan logika yang masuk akal di samping kekuatan nyata yang
harus digunakan dalam penerapannya. Logika yang masuk akal tersebut ada dalam multikulturalisme dan dalam
demokrasi.
Upaya yang telah
dan sedang dilakukan terhadap lima kelompok minoritas di Indonesia oleh LSM,
untuk meningkatkan derajad mereka, mungkin dapat dilakukan melalui
program-program pendidikan yang mencakup ideologi multikulturalisme dan
demokrasi serta kebangsaan, dan berbagai upaya untuk menstimuli peningkatan
kerja produktif dan profesi. Sehingga mereka itu tidak lagi berada dalam
keterbelakangan dan ketergantungan pada kelompok-kelompok dominan dalam
masyarakat setempat dimana kelompok minoritas itu hidup.
Kebudayaan Jawa Barat
Suku Sunda adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa, Indonesia, yang mencakup wilayah administrasi provinsi Jawa Barat, Banten, Jakarta, dan Lampung. Suku Sunda merupakan etnis kedua terbesar di Indonesia. Sekurang-kurangnya 15,41% penduduk Indonesia merupakan orang Sunda. Mayoritas orang Sunda beragama Islam, akan tetapi ada juga sebagian kecil yang beragama kristen, Hindu, dan Sunda Wiwitan/Jati Sunda. Agama Sunda Wiwitan masih bertahan di beberapa komunitas pedesaan suku Sunda, seperti di Kuningan dan masyarakat suku Baduy di Lebak Banten yang berkerabat dekat dan dapat dikategorikan sebagai suku Sunda.
Jati diri yang mempersatukan orang Sunda adalah bahasanya dan budayanya. Orang Sunda dikenal memiliki sifat optimistis, ramah, sopan, dan riang.[2] Orang Portugis mencatat dalam Suma Oriental bahwa orang sunda bersifat jujur dan pemberani. Karakter orang Sunda yang periang dan suka bercanda seringkali ditampilkan melalui tokoh populer dalam cerita Sunda yaitu Kabayan dan tokoh populer dalam wayang golek yaitu Cepot, anaknya Semar. Mereka bersifat riang, suka bercanda, dan banyak akal, tetapi seringkali nakal. Orang sunda juga adalah yang pertama kali melakukan hubungan diplomatik secara sejajar dengan bangsa lain. Sang Hyang Surawisesa atau Raja Samian adalah raja pertama di Nusantara yang melakukan hubungan diplomatik dengan Bangsa lain pada abad ke 15 dengan orang Portugis di Malaka. Hasil dari diplomasinya dituangkan dalam Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal. Beberapa tokoh Sunda juga menjabat Menteri dan pernah menjadi wakil Presiden pada kabinet RI.
Disamping prestasi dalam bidang politik (khususnya pada awal masa kemerdekaan Indonesia) dan ekonomi, prestasi yang cukup membanggakan adalah pada bidang budaya yaitu banyaknya penyanyi, musisi, aktor dan aktris dari etnis Sunda, yang memiliki prestasi di tingkat nasional, maupun internasional.[3]
Etimologi
Menurut Rouffaer (1905: 16) menyatakan bahwa kata Sunda berasal dari akar kata sund atau kata suddha dalam bahasa Sansekerta yang mempunyai pengertian bersinar, terang, putih (Williams, 1872: 1128, Eringa, 1949: 289). Dalam bahasa Jawa Kuno (Kawi) dan bahasa Bali pun terdapat kata sunda, dengan pengertian: bersih, suci, murni, tak tercela/bernoda, air, tumpukan, pangkat, waspada (Anandakusuma, 1986: 185-186; Mardiwarsito, 1990: 569-570; Winter, 1928: 219). Orang Sunda meyakini bahwa memiliki etos atau karakter Kasundaan, sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Karakter Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (mawas diri), dan pinter (cerdas). Karakter ini telah dijalankan oleh masyarakat yang bermukim di Jawa bagian barat sejak zaman kerajaan Kerajaan Salakanagara, Kerajaan Tarumanagara, Kerajaan Sunda-Galuh, Kerajaan Pajajaran hingga sekarang .Nama Sunda mulai digunakan oleh raja Purnawarman pada tahun 397 untuk menyebut ibukota Kerajaan Tarumanagara yang didirikannya. Untuk mengembalikan pamor Tarumanagara yang semakin menurun, pada tahun 670, Tarusbawa, penguasa Tarumanagara yang ke-13, mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Kemudian peristiwa ini dijadikan alasan oleh Kerajaan Galuh untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan Tarusbawa. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan raja Galuh. Akhirnya kawasan Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batasnya.
Pandangan Hidup
Selain agama yang dijadikan pandangan hidup, orang Sunda juga mempunyai pandangan hidup yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Pandangan hidup tersebut tidak bertentangan dengan agama yang dianutnya karena secara tersurat dan tersirat dikandung juga dalam ajaran agamanya, khususnya ajaran agama Islam. Pandangan hidup orang Sunda yang diwariskan dari nenek moyangnya dapat diamati pada ungkapan tradisional, juga dari naskah kuno.[4]Hubungan antara sesama manusia
Hubungan antara manusia dengan sesama manusia dalam masyarakat Sunda pada dasarnya harus dilandasi oleh sikap “silih asih, silih asah, dan silih asuh”, artinya harus saling mengasihi, saling mengasah atau mengajari, dan saling mengasuh sehingga tercipta suasana kehidupan masyarakat yang diwarnai keakraban, kerukunan, kedamaian, ketentraman, dan kekeluargaan, seperti tampak pada ungkapan-ungkapan berikut ini:- Kawas gula jeung peueut yang artinya hidup harus rukun saling menyayangi, tidak pernah berselisih.
- Ulah marebutkeun balung tanpa eusi yang artinya jangan memperebutkan perkara yang tidak ada gunanya.
- Ulah ngaliarkeun taleus ateul yang artinya jangan menyebarkan perkara yang dapat menimbulkan keburukan atau keresahan.
- Ulah nyolok mata buncelik yang artinya jangan berbuat sesuatu di hadapan orang lain dengan maksud mempermalukan.
- Buruk-buruk papan jati yang artinya berapapun besar kesalahan saudara atau sahabat, mereka tetap saudara kita, orang tua tentu dapat mengampuninya.
Hubungan antara manusia dengan negara dan bangsanya
Hubungan antara manusia dengan negara dan bangsanya, menurut pandangan hidup orang Sunda, hendaknya didasari oleh sikap yang menjunjung tinggi hukum, membela negara, dan menyuarakan hati nurani rakyat. Pada dasarnya, tujuan hukum yang berupa hasrat untuk mengembalikan rasa keadilan, yang bersifat menjaga keadaan, dan menjaga solidaritas sosial dalam masyarakat. Masalah ini dalam masyarakat Sunda terpancar dalam ungkapan-ungkapan:- Kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mupakat ka balarea (harus menjunjung tinggi hukum, berpijak kepada ketentuan negara, dan bermupakat kepada kehendak rakyat.
- Bengkung ngariung bongkok ngaronyok (bersama-sama dalam suka dan duka).
- Nyuhunkeun bobot pangayon timbang taraju (memohon pertimbangan dan kebijaksanaan yang seadil-adilnya, memohon ampun)
Bahasa
Dalam percakapan sehari-hari, etnis Sunda banyak menggunakan bahasa Sunda. Namun kini telah banyak masyarakat Sunda terutama yang tinggal di perkotaan tidak lagi menggunakan bahasa tersebut dalam bertutur kata.[5] Seperti yang terjadi di pusat-pusat keramaian kota Bandung dan Bogor, dimana banyak masyarakat yang tidak lagi menggunakan bahasa Sunda.Ada beberapa dialek dalam bahasa Sunda, mulai dari dialek Sunda-Banten, hingga dialek Sunda-Jawa Tengahan yang mulai tercampur bahasa Jawa. Para pakar bahasa biasanya membedakan enam dialek yang berbeda[1]. Dialek-dialek ini adalah:
- Dialek Barat
- Dialek Utara
- Dialek Selatan
- Dialek Tengah Timur
- Dialek Timur Laut
- Dialek Tenggar
Kesenian
Seni tari
Seni tari utama dalam Suku Sunda adalah tari jaipongan, tari merak, dan tari topeng.Tanah Sunda (Priangan) dikenal memiliki aneka budaya yang unik dan menarik, Jaipongan adalah salah satu seni budaya yang terkenal dari daerah ini. Jaipongan atau Tari Jaipong sebetulnya merupakan tarian yang sudah moderen karena merupakan modifikasi atau pengembangan dari tari tradisional khas Sunda yaitu Ketuk Tilu. Tari Jaipong ini dibawakan dengan iringan musik yang khas pula, yaitu degung. Musik ini merupakan kumpulan beragam alat musik seperti gendang, gong, saron, kecapi, dsb. Degung bisa diibaratkan 'Orkestra' dalam musik Eropa/Amerika. Ciri khas dari Tari Jaipong ini adalah musiknya yang menghentak, dimana alat musik kendang terdengar paling menonjol selama mengiringi tarian. Tarian ini biasanya dibawakan oleh seorang, berpasangan atau berkelompok. Sebagai tarian yang menarik, Jaipong sering dipentaskan pada acara-acara hiburan, selamatan atau pesta pernikahan.
Wayang Golek
Tanah Sunda terkenal dengan kesenian Wayang Golek-nya. Wayang Golek adalah pementasan sandiwara boneka yang terbuat dari kayu dan dimainkan oleh seorang sutradara merangkap pengisi suara yang disebut Dalang. Seorang Dalang memiliki keahlian dalam menirukan berbagai suara manusia. Seperti halnya Jaipong, pementasan Wayang Golek diiringi musik Degung lengkap dengan Sindennya. Wayang Golek biasanya dipentaskan pada acara hiburan, pesta pernikahan atau acara lainnya. Waktu pementasannya pun unik, yaitu pada malam hari (biasanya semalam suntuk) dimulai sekitar pukul 20.00 – 21.00 hingga pukul 04.00 pagi. Cerita yang dibawakan berkisar pada pergulatan antara kebaikan dan kejahatan (tokoh baik melawan tokoh jahat). Cerita wayang yang populer saat ini banyak diilhami oleh budaya Hindu dari India, seperti Ramayana atau Perang Baratayudha. Tokoh-tokoh dalam cerita mengambil nama-nama dari tanah India.Dalam Wayang Golek, ada ‘tokoh’ yang sangat dinantikan pementasannya yaitu kelompok yang dinamakan Purnakawan, seperti Dawala dan Cepot. Tokoh-tokoh ini digemari karena mereka merupakan tokoh yang selalu memerankan peran lucu (seperti pelawak) dan sering memancing gelak tawa penonton. Seorang Dalang yang pintar akan memainkan tokoh tersebut dengan variasi yang sangat menarik.Seni musik
Selain seni tari, tanah Sunda juga terkenal dengan seni suaranya. Dalam memainkan Degung biasanya ada seorang penyanyi yang membawakan lagu-lagu Sunda dengan nada dan alunan yang khas. Penyanyi ini biasanya seorang wanita yang dinamakan Sinden. Tidak sembarangan orang dapat menyanyikan lagu yang dibawakan Sinden karena nada dan ritme-nya cukup sulit untuk ditiru dan dipelajari.Dibawah ini salah salah satu musik/lagu daerah Sunda :Bubuy Bulan Es Lilin Manuk Dadali Tokecang Warung Pojok
1. Calung Calung adalah alat musik Sunda yang merupakan prototipe dari angklung. Berbeda dengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh calung adalah dengan mepukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam), namun ada pula yang dibuat dari awi temen (bambu yang berwarna putih).
2. Angklung Angklung adalah sebuah alat atau waditra kesenian yang terbuat dari bambu khusus yang ditemukan oleh Bapak Daeng Sutigna sekitar tahun 1938. Ketika awal penggunaannya angklung masih sebatas kepentingan kesenian local atau tradisional.
Rumah Adat
Secara tradisional rumah orang Sunda berbentuk panggung dengan ketinggian 0,5 m - 0,8 m atau 1 meter di atas permukaan tanah. Pada rumah-rumah yang sudah tua usianya, tinggi kolong ada yang mencapai 1,8 meter. Kolong ini sendiri umumnya digunakan untuk tempat mengikat binatang-binatang peliharaan seperti sapi, kuda, atau untuk menyimpan alat-alat pertanian seperti cangkul, bajak, garu dan sebagainya. Untuk naik ke rumah disediakan tangga yang disebut Golodog yang terbuat dari kayu atau bambu, yang biasanya terdiri tidak lebih dari tiga anak tangga. Golodog berfungsi juga untuk membersihkan kaki sebelum naik ke dalam rumah.Rumah adat Sunda sebenarnya memiliki nama yang berbeda-beda bergantung pada bentuk atap dan pintu rumahnya. Secara tradisional ada atap yang bernama suhunan Jolopong, Tagong Anjing, Badak Heuay, Perahu Kemureb, Jubleg Nangkub, Capit Gunting, dan Buka Pongpok. Dari kesemuanya itu, Jolopong adalah bentuk yang paling sederhana dan banyak dijumpai di daerah-daerah cagar budaya atau di desa-desa.
Jolopong memiliki dua bidang atap yang dipisahkan oleh jalur suhunan di tengah bangunan rumah. Batang suhunan sama panjangnya dan sejajar dengan kedua sisi bawah bidang atap yang sebelah menyebelah, sedangkan lainnya lebih pendek dibanding dengan suhunan dan memotong tegak lurus di kedua ujung suhunan itu.
Interior yang dimiliki Jolopong pun sangat efisien. Ruang Jolopong terdiri atas ruang depan yang disebut emper atau tepas; ruangan tengah disebut tengah imah atau patengahan; ruangan samping disebut pangkeng (kamar); dan ruangan belakang yang terdiri atas dapur yang disebut pawon dan tempat menyimpan beras yang disebut padaringan. Ruangan yang disebut emper berfungsi untuk menerima tamu. Dulu, ruangan ini dibiarkan kosong tanpa perkakas atau perabot rumah tangga seperti meja, kursi, ataupun bale-bale tempat duduk. Jika tamu datang barulah yang empunya rumah menggelarkan tikar untuk duduk tamu. Seiring waktu, kini sudah disediakan meja dan kursi bahkan peralatan lainnya. Ruang balandongan berfungsi untuk menambah kesejukan bagi penghuni rumah. Untuk ruang tidur, digunakan Pangkeng. Ruangan sejenis pangkeng ialah jobong atau gudang yang digunakan untuk menyimpan barang atau alat-alat rumah tangga. Ruangan tengah digunakan sebagai tempat berkumpulnya keluarga dan sering digunakan untuk melaksanakan upacara atau selamatan dan ruang belakang (dapur) digunakan untuk memasak.
Ditilik dari segi filosofis, rumah tradisional milik masyarakat Jawa Barat ini memiliki pemahaman yang sangat mengagumkan. Secara umum, nama suhunan rumah adat orang Sunda ditujukan untuk menghormati alam sekelilingnya. Hampir di setiap bangunan rumah adat Sunda sangat jarang ditemukan paku besi maupun alat bangunan modern lainnya. Untuk penguat antar tiang digunakan paseuk (dari bambu) atau tali dari ijuk ataupun sabut kelapa, sedangkan bagian atap sebagai penutup rumah menggunakan ijuk, daun kelapa, atau daun rumia, karena rumah adat Sunda sangat jarang menggunakan genting. Hal menarik lainnya adalah mengenai material yang digunakan oleh rumah itu sendiri. Pemakaian material bilik yang tipis dan lantai panggung dari papan kayu atau palupuh tentu tidak mungkin dipakai untuk tempat perlindungan di komunitas dengan peradaban barbar. Rumah untuk komunitas orang Sunda bukan sebagai benteng perlindungan dari musuh manusia, tapi semata dari alam berupa hujan, angin, terik matahari dan binatang.
Sistem Kekerabatan
Sistem keluarga dalam suku Sunda bersifat bilateral, garis keturunan ditarik dari pihak bapak dan ibu. Dalam keluarga Sunda, bapak yang bertindak sebagai kepala keluarga. Ikatan kekeluargaan yang kuat dan peranan agama Islam yang sangat mempengaruhi adat istiadat mewarnai seluruh sendi kehidupan suku Sunda. Dalam suku Sunda dikenal adanya pancakaki yaitu sebagai istilah-istilah untuk menunjukkan hubungan kekerabatan. Dicontohkannya, pertama, saudara yang berhubungan langsung, ke bawah, dan vertikal. Yaitu anak, incu (cucu), buyut (piut), bao, canggahwareng atau janggawareng, udeg-udeg, kaitsiwur atau gantungsiwur. Kedua, saudara yang berhubungan tidak langsung dan horizontal seperti anak paman, bibi, atau uwak, anak saudara kakek atau nenek, anak saudara piut. Ketiga, saudara yang berhubungan tidak langsung dan langsung serta vertikal seperti keponakan anak kakak, keponakan anak adik, dan seterusnya. Dalam bahasa Sunda dikenal pula kosa kata sajarah dan sarsilah (salsilah, silsilah) yang maknanya kurang lebih sama dengan kosa kata sejarah dan silsilah dalam bahasa Indonesia. Makna sajarah adalah susun galur/garis keturunan.Profesi
Mayoritas masyarakat Sunda berprofesi sebagai petani, dan berladang, ini disebabkan tanah Sunda yang subur.[6] Sampai abad ke-19, banyak dari masyarakat Sunda yang berladang secara berpindah-pindah.Selain bertani, masyarakat Sunda seringkali memilih untuk menjadi pengusaha dan pedagang sebagai mata pencariannya, meskipun kebanyakan berupa wirausaha kecil-kecilan yang sederhana, seperti menjadi penjaja makanan keliling, membuka warung atau rumah makan, membuka toko barang kelontong dan kebutuhan sehari-hari, atau membuka usaha cukur rambut, di daerah perkotaan ada pula yang membuka usaha percetakan, distro, cafe, rental mobil dan jual beli kendaraan bekas. Profesi pedagang keliling banyak pula dilakoni oleh masyarakat Sunda, terutama asal Tasikmalaya dan Garut. Chairul Tanjung, Eddy Kusnadi Sariaatmadja, dan Sandiaga Uno merupakan contoh-contoh pengusaha berdarah Sunda yang berhasil. Chairul Tanjung dan Eddy Kusnadi Sariaatmadja bahkan masuk ke dalam daftar 40 orang terkaya di Indonesia yang dirilis majalah Forbes pada tanggal 29 November 2012.
Profesi lainnya yang banyak dilakoni oleh orang Sunda adalah sebagai pegawai negeri, penyanyi, seniman, dokter, diplomat dan pengusaha.
sumber : http://id.wikipedia.org
Kebudayaan Sumatera Selatan
Sejarah Palembang yang pernah menjadi ibukota kerajaan bahari Buddha terbesar di Asia Tenggara pada saat itu, Kerajaan Sriwijaya, yang mendominasi Nusantara dan Semenanjung Malaya pada abad ke-9 juga membuat kota ini dikenal dengan julukan “Bumi Sriwijaya“.
Letak Geografis
Secara geografis, Palembang terletak pada 2°59′27.99″LS 104°45′24.24″BT. Luas wilayah Kota Palembang adalah 102,47 Km² dengan ketinggian rata-rata 8 meter dari permukaan laut. Letak Palembang cukup strategis karena dilalui oleh jalan Lintas Sumatera yang menghubungkan antar daerah di Pulau Sumatera.Penduduk
Penduduk Palembang merupakan etnis melayu dan menggunakan bahasa melayu yang telah disesuaikan dengan dialek setempat yang kini dikenal sebagai Bahasa Palembang. Namun para pendatang seringkali menggunakan bahasa daerahnya sebagai bahasa sehari-hari, seperti bahasa Komering, Rawas, Musi dan Lahat. Pendatang dari luar Sumatera Selatan kadang-kadang juga menggunakan bahasa daerahnya sebagai bahasa sehari-hari dalam keluarga atau komunitas kedaerahan. Namun untuk berkomunikasi dengan warga Palembang lain, penduduk umumnya menggunakan bahasa Palembang sebagai bahasa pengantar sehari-hari. Selain penduduk asli, di Palembang terdapat pula warga pendatang dan warga keturunan, seperti dari Jawa, Minangkabau, Madura, Bugis dan Banjar. Warga keturunan yang banyak tinggal di Palembang adalah Tionghoa, Arab dan India.Seni dan Budaya
Sejarah tua Palembang serta masuknya para pendatang dari wilayah lain, telah menjadikan kota ini sebagai kota multi-budaya. Sempat kehilangan fungsi sebagai pelabuhan besar, penduduk kota ini lalu mengadopsi budaya Melayu pesisir, kemudian Jawa. Sampai sekarang pun hal ini bisa dilihat dalam budayanya. Salah satunya adalah bahasa. Kata-kata seperti “lawang (pintu)”, “gedang (pisang)”, adalah salah satu contohnya. Gelar kebangsawanan pun bernuansa Jawa, seperti Raden Mas/Ayu. Makam-makam peninggalan masa Islam pun tidak berbeda bentuk dan coraknya dengan makam-makam Islam di Jawa.Kesenian yang terdapat di Palembang antara lain:
- Kesenian Dul Muluk (pentas drama tradisional khas Palembang)
- Tari-tarian seperti Gending Sriwijaya yang diadakan sebagai penyambutan kepada tamu-tamu dan tari Tanggai yang diperagakan dalam resepsi pernikahan
- Syarofal Anam adalah kesenian Islami yang dibawa oleh para saudagar Arab dulu, dan menjadi terkenal di Palembang oleh KH. M Akib, Ki Kemas H. Umar dan S. Abdullah bin Alwi Jamalullail
- Lagu Daerah seperti Melati Karangan, Dek Sangke, Cuk Mak Ilang, Dirut dan Ribang Kemambang
- Rumah Adat Palembang adalah Rumah Limas dan Rumah Rakit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar